
SEJUMLAH warga pemilik kebun sawit di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Pelalawan, Riau, menolak penyitaan kebun mereka. Pasalnya kebun itu kemudian diserahkan ke PT Agrinas Palma Nusantara (Persero) sehingga kesungguhan rehabilitas hutan TNTN dianggap tidak jelas.
"Jadi tujuan negara apa sebenarnya, mengembalikan fungsi hutan untuk menyelamatkan gajah, atau mau merampas tanah kebun kami," kata perwakilan warga di TNTN Abdul Aziz kepada Media Indonesia, Sabtu (12/7).
Ia menegaskan, pihaknya menolak keras apabila kebun kelapa sawit milik rakyat diambil lalu dikelola BUMN. "Kalau kebun kami diambil, dikelola BUMN, sementara kami disuruh pergi atau relokasi mandiri dari tanah kami, tentu kami tidak mau. Kami menyatakan menolak. Tanah itu kami beli dan bersusah payah membuat kebun," tegasnya.
Ia mengungkapkan, tindakan pemerintah melalui Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) dianggapnya sama saja dengan pemerintah melanjutkan pelanggaran yang selama dituduhkan ke warga.
Apalagi, kata Aziz, kalau memang pelanggaran yang dilakukan warga, seharusnya lahan yang sudah lama digarap oleh warga tidak bisa langsung disita, melainkan harus melalui putusan pengadilan.
"Seharusnya lahan yang sudah lama digarap orang tidak bisa langsung disita. Tetapi harus melalui putusan pengadilan. Kami selama ini juga tidak tahu mana batas konservasi dan yang disebut kawasan. Kami tidak pernah diberitahu," tegas Aziz.
Aziz juga menyayangkan pemerintah menyebut warga merambah hutan TNTN. Alasannya, sampai dengan tahun 2016, kawasan hutan di Riau masih dalam status penunjukan. Ini sesuai dengan SK 903 tahun 2016, merujuk pada pasal 14 dan 15 UU 41 Tahun 1999 serta Pasal 19 hingga 22 PP 44 Tahun 2004, kawasan hutan harus dikukuhkan tidak bisa sekadar ditunjuk. "Sebab dalam proses pengukuhan itulah dilakukan penataan batas yang tujuannya memisahkan hak-hak para pihak yang akan bersempadan," paparnya.
Sejauh ini, lanjut Aziz, kenyataannya di lapangan, lahan yang sudah lama dikuasai masyarakat justru diambil paksa. Tentu ini akan mencederai hukum-hukum yang ada. Sebab, jika mengacu pada Pasal 24 dan 28 PP 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan kehutanan, masyarakat yang menguasai lahan maksimal lima hektare dan dikuasai minimal lima tahun, tidak diusir, tapi dimitrakan.
"Kalau di areal konservasi, tentu dimitrakan dengan konservasi. Ini pun bila masyarakat telanjur masuk dalam kawasan hutan yang sudah dikukuhkan," ungkapnya.
Dia yakin dalam proses penyelesaian masalah ini, Presiden RI Prabowo Subianto sangat patuh dengan aturan hukum yang berlaku. Terlebih lagi, warga akan terus mempertahankan hak-haknya karena aturan hukum mengakomodasi hal tersebut.
"Itulah makanya di dalam Satgas PKH dilibatkan para penegak hukum. Tujuannya bukan sekadar menindak, tapi justru menelaah apakah versi kehutanan itu sudah benar atau tidak. Sehingga, proses penegakan hukum benar-benar legitimate," tegas Aziz.
Sebelumnya, dalam audiensi Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI di Kantor Gubernur Riau di Pekanbaru, Kamis (10/7) lalu, Dansatgas Garuda PKH Mayjen TNI Dody Triwinarto menyebut kawasan TNTN yang dikuasai warga sudah mencapai sekitar 85.000 hektare. Hutan yang digarap warga ini berada di areal hutan tanaman industri (HTI) dan bekas HTI, serta ada di areal konservasi. "Di TNTN ini, satu (areal) konservasi dan satu kawasan HTI dan eks HTI," ungkap Dody.
Dody menyatakan, kebun sawit yang ada di dalam areal konservasi akan dipulihkan seperti semula menjadi hutan, demi keberlangsungan hidup satwa, seperti gajah sumatra dan harimau sumatra. Sedangkan kebun sawit yang ada di dalam kawasan HTI dan eks HTI akan diambil alih oleh negara dan dikelola BUMN, dalam hal ini perusahaan pelat merah, PT Agrinas Palma Nusantara (APN).
"Treatment-nya itu berbeda. Dia nanti dikelola oleh negara. Tidak dikembalikan fungsinya. Kita ambil, didata, dan dikuasai oleh negara, kemudian dikelola BUMN, PT Agrinas. Nanti penyelesaiannya setelah Agustus," jelasnya. (M-1)