
Perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dengan sejumlah negara mulai mereda setelah adanya kesepakatan tarif baru antara AS dan China dan kesepakatan dagang AS dan Inggris.
Vietnam juga sedang melakukan negosiasi ulang besaran tarif bea keluar. Ekonom dari CORE Yusuf Rendy Manilet berharap, Indonesia terus melakukan negosiasi tarif secara pro aktif dengan AS.
“Jika Vietnam berhasil menurunkan tarifnya lebih lanjut, maka posisi produk Indonesia akan makin terdesak di pasar AS. Kita tidak bisa hanya menunggu hasil, kita harus proaktif,” kata Yusuf kepada kumparan, Minggu (18/5).
Menurut Yusuf tarif impor yang diterapkan AS kepada Indonesia sebesar 47 masih tinggi dibanding negara-negara Asean.
Yusuf optimistis pemerintah dapat melakukan tindakan lebih proaktif dalam bernegosiasi perang tarif impor yang diterapkan AS.
Indonesia menjadi negara dengan tarif impor tertinggi ketiga di Asean sebesar 47 persen, setelah Kamboja dan Laos yang masing-masing 49 persen dan 48 persen.
Yusuf melihat saat ini adalah waktu yang tepat untuk negosiasi lanjutan karena AS dipandang lebih lunak dan membuka ruang kompromi yang lebih luas sejak adanya kesepakatan dengan China dan Inggris.

“Saya kira ada peluang bagi Indonesia untuk menegosiasikan penurunan tarif setidaknya ke level yang sebanding dengan Vietnam, idealnya di bawah 25 persen,” ujar Yusuf.
Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira melihat meredanya perang tarif dapat membuat harga ekspor komoditas unggulan Indonesia dapat pulih sejalan dengan meningkatnya industri di China. Hal ini juga dapat menopang kinerja ekspor Indonesia.
Meski begitu dengan adanya penurunan tarif AS terhadap barang China juga disebut bisa merugikan Indonesia.
“Rendahnya tarif China dibandingkan Indonesia ke pasar AS akan menurunkan daya saing ekspor Indonesia. Produk asal Indonesia seperti tekstil, alas kaki dan pakaian jadi bisa direbut oleh China. Sementara Indonesia hanya diuntungkan dari sisi permintaan bahan baku mentah dan barang setengah jadi,” kata Bhima.